Minggu Pagi, Pemilik Skate Biru dan Angkringan

Itastorytelling
9 min readSep 11, 2022

--

Hari minggu adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu para budak korporat, ya itu saya! Alih-alih weekend dua hari, saya hanya memiliki satu hari, ya benar itu hari ini — Minggu.
Seharusnya saya masih rebah dan berpacaran dengan kasur serta teman-temannya. Namun takdir berkata lain, pintu rumah saya diketuk oleh seseorang.

Sepagi ini siapa si yang bertamu!”
“PAGI PEMALASSSS” Mata saya reflek melebar diikuti oleh bibir saya yang menganga.

Itu teman sekantor saya, datang pagi-pagi buta, bahkan saya saja baru selesai melakukan ibadah!

Dia nyelengos masuk kedalam rumah, duduk di sofa ruang tamu “Sana buruan!! Jogging lah Buk, mumpung minggu” Katanya.

“Kamu pagi buta ke rumah saya, cuma mau ajak jogging?”

“Ya iya Buk, ini kan aku udah rapih!” Memang sih dia sudah sangat rapih dengan setelan mini tank top serta jogger yang membalut kaki jenjangnya dan tak lupa snicker putih yang ia kenakan.

“Kenapa kamu ajak saya?!” Protes saya.

“Bu, dengerin, aku tau ya Ibu jomblo, pasti punya banyak waktu di hari libur gini, aku gak mau Ibu sakit deh, jadi aku ajak Ibu jogging” Jelasnya.

Yang sudah dipastikan tidak ada korelasinya. Hanya basa-basi saja.
Junior saya dikantor ini memang sedikit rese dan bawel, oleh karena itu anaknya mudah bergaul.

“Saya ga mau Tia, kamu mentang-mentang kita tetanggaan seenaknya aja ya pagi buta gini mampir ke rumah saya.”

“Kan niat aku baik Bu, ayolah Bu, aku juga baru pindah ke daerah ini, jadi pengen exsplor aja gitu Bu,” pintanya memelas. “Yaa, yaa Buuu, nanti aku traktir bubur ayam deh Bu abis jogging!” Finalnya.

Saya tipikal manusia yang tidak bisa menolak ajakan seseorang, apalagi Tia yang sudah saya anggap adik saya sendiri.

Kami jalan santai menuju taman kompleks yang agak lumayan menguras, karena jarak rumah dengan taman lumayan menghabiskan waktu — sekitar 25 menitan atau lebih saya tidak terlalu peduli.

“Capek juga ya, Bu? Padahal jalan santai aja.” Kan apa sudah saya bilang, saya bingung makhluk seperti apa Tia ini? Tadi dia yang bersemangat olahraga, sekarang dia mengeluh.

“Makan bubur aja deh, Bu, cuci mata abis itu pulangnya gocar aja ya, Bu?” Ada-ada saja makhluk ini, saya gak habis pikir.

Terbuang sia-sia lah minggu pagi saya.

“Yaudah saya ke warung, mau beli air mineral dulu.”

“Aku ke tukang bubur ya, punya Ibu gak pake kacang dan bawang daunnya dibanyakin ‘kan?” Saya mengangguk setelahnya dan berlalu.

Saya berniat membeli dua air mineral saat itu, tapi alih-alih berjalan dengan fokus saya malah tersandung, haduh sial sekali tali sepatu saya terlepas pula, jadilah saya terjatuh.

Saya membenarkan tali sepatu, tiba-tiba saya dihampiri papan skate berwarna biru “Milik siapa?”

“Maaf, apakah skate saya menabrak kamu? Sampai kamu jatuh seperti itu?” Suara bariton itu menghentikan aktivitas saya yang sedang mengikat tali sepatu.

“Oh tidak! Saya memang tersandung karena tali sepatu saya lepas.” Jelas saya tanpa mendongak pada lawan bicara. Memang ini tidak sopan, tapi masa bodolah, semoga orang itu tidak tersinggung, karena setelahnya dia langsung mengambil papan skate nya itu dan hanya berdehem menanggapi saya.

“Udah puas?” Tanya saya pada Tia saat gadis itu telah menyelesaikan sesi sarapan nya. Saya bangkit.

“Yah Ibu, mau pulang?” Dia menarik saya untuk duduk kembali “Nanti lah Bu bentar lagi, kata temenku disini suka ada anak muda yang atraksi skate gitu Bu, pasti ganteng-ganteng, liat dulu ya Buu!”

Saya hanya bisa menghembuskan nafas pasrah, saya kira selesai sarapan Tia akan merengek minta pulang, nyatanya dia ingin mejeng terlebih dahulu. Terlihat sih dari outfit dan dandanannya pagi ini, berbanding terbalik dengan saya yang masih ogah-ogahan dengan setelan celana tidur bergaris dan tank top yang saya lapisi dengan jaket bahan, oh iya jangan lupa muka bantal yang hanya saya cuci pagi ini tanpa makeup.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti keinginan gadis itu, melihat atraksi para semiprofesional yang sedang memainkan papan skate, saya tidak begitu tertarik, sehingga saya hanya menonton dari jauh, sedangkan Tia entah sudah dimana gadis itu menonton.

Tiga puluh menit saya hanya peregangan, berlari kecil, lalu duduk di bangku taman — menunggu Tia, jika saya tegaan sudah saya tinggal dia.

Tia berlari menghampiri saya. “Bu, tadi ada mas-mas eh kayanya enakan dipanggil kakak deh, ah ga tau deh, pokoknya tadi si kakak skate itu nanyain Ibu ke aku, tadi katanya dia ketemu Ibu cuma Ibu gak respon dia.” ucapnya.

Tidak penting, bukan? Bahkan saya tidak mengenal orang-orang disini, bertemu katanya? Saya tidak ada bertemu siapapun dan menegur siapapun sendari tadi (mungkin).

“Saya udah pesen gocar buat pulang, biar kamu gak capek, karena sehabis ini saya juga mau tidur sampai besok, ayok pulang!”

Dia hanya cemberut, ya mau bagaimana lagi jika tidak seperti itu pasti dia merengek meminta lebih lama disini.

Setelah sampai di depan gerbang dia bertanya, “Ibu beneran gak penasaran sama si kakak skate itu? Ganteng tau! Terus senyumnya manis banget deh.” Sudah terhitung delapan kali ia menanyakan hal tersebut.

“Udah kamu masuk rumah terus mandi, sana ngedate aja sama pacar kamu, jangan ganggu saya, saya pusing banget seminggu ini nge revisi cerita buat target penerbitan bulan ini, maaf, ya, Tia, bukan saya mengidahkan kamu, saya cuma lagi pengen menikmati hari minggu saya ini.”

“Yah Ibu, iya deh, makasih ya Bu masih sempetin buat sarapan sama aku, terus Ibu juga harus inget kalo dunia ini gak melulu tentang diri Ibu, Ibu harus buka diri buat liat gimana indahnya dunia.” Setelahnya dia memeluk saya, saya balas pelukannya.

Perkataannya benar, menusuk hati saya, saya terlalu menutup diri, bahkan untuk sekedar merasakan jogging seperti pagi ini saja saya enggan, saya memilih untuk tidak dikenal kalangan sekitar saya.

“Iya sama-sama, terimakasih juga sudah mengajak saya jogging dan sekedar melihat interaksi banyak orang.” Dia mengacungkan kedua jempol nya dan berlalu memasuki gerbang rumahnya.

Ah iya sedikit ya saya ceritakan tentang saya, saya adalah seorang si introvert yang anti sosial, sudah tidak mudah bergaul, sedikit takut pula pada banyak orang, saya ini payah dalam berinteraksi, untuk bidang pekerjaan saya lebih suka berada dibelakang panggung dibandingkan diatas panggung, saya menutup diri, bahkan media sosial yang sudah sangat marak dan maju digunakan para muda mudi, saya hanya sebatas memiliki beberapa akun media sosial, ya sesekali saya memakai media sosial untuk memasarkan buku terbitan saya, setelahnya saya tidak menggunakan media sosial untuk kepentingan saya, sekedar untuk menunjukkan wajah saya ke dunia saja saya enggan.
Seperti itulah sedikit deskripsi tentang si gadis yang menutup dunianya ini. Jangan tanya mengapa saya demikian, karena saya saja enggan untuk menceritakan mengapa saya seperti ini, terlalu tragis dan menyakitkan untuk saya. Menyakitkan sampai rasanya saya tidak ingin engingatnya kembali.

Seharian saya membereskan rumah yang sudah hampir seminggu ini tidak saya urus, karena pagi saya berangkat ke kantor baru pulang menjelang malam, sudah sangat lelah dan berujung merebahkan tubuh di kasur kesayangan. Rumah yang saya beli ini memang besar untuk ditinggali sendiri, tapi saya tak mempermasalahkan itu, karena inilah impian saya — Memiliki hunian sendiri dengan jeripayah saya sendiri. So, saya sangat menjaga harta yang saya miliki ini, walau terkadang abai, setidaknya saya memiliki waktu luang untuk mengurus hunian saya ini.

Pukul delapan malam saya mendapat telephone dari Tia. Ada-ada saja gadis ini, padahal ia berteriak sambil nongol di gerbang untuk memanggil saya, ini segala telephone. “Halo! Ibu mau makan malam apa? Aku lagi ngedate nih, barangkali Ibu belum makan mau aku bawain?” Bawel.

“Ga usah, kamu have fun aja, saya mau jalan ke Angkringan depan gang, tapi kamu juga jangan kemaleman mainnya, inget besok kerja!” Ada keluhan diujung sambungan sana.

“Siap Bu Bosss, tapi aku mau bawa cheese cake buat Ibu, ya? Nanti sebelum jam sebelas aku udah pulang kok!”
“Iya terserah kamu aja gimana Tia.”
“Tia tutup ya Bu, maaf kalo hari ini aku ganggu terus.” Ia tertawa ringan diujung sana.
“Sudah biasa Tia, sudah ya saya mau on the way ke Angkringan nih.”

Saya membeli dua nasi kucing, telur puyuh, tempe bacem, serta beberapa lauk lain untuk nasi kucing yang saya beli. Memang agak rakus, tapi tak apa lah hitung-hitung memberi reward pada diri sendiri.

“Kamu?” Tanya seseorang. Saya bingung siapa ya dia?

“Iya kenapa? Kamu kenal saya? Oh maaf saya tidak mudah mengingat wajah seseorang.” Ucap saya sambil menunduk.

“Sebelumnya kita pernah bertemu, tepatnya pagi tadi.” Dia menunjukkan papan skate di tangannya, “Pasti ingat dengan papan skate milik saya!” Ucapnya lagi.

“Oh iya saya ingat, maaf ya tadi pagi saya tidak sempat bersitatap dengan kamu.”

“Padahal saya ingin sekali melihat wajah seorang gadis yang dengan percaya dirinya mengecat rambutnya berwarna ungu terang.” Ucapnya santai.

Saya sedikit kikuk dengan lawan bicara saya ini yang notabene nya baru saya temui pagi tadi.

“Tapi nyatanya semesta berkata lain, saya bisa melihat wajah kamu sekarang,” Lanjutnya lagi. Saya hanya tersenyum menanggapinya. “Sudah mau pulang?”

“Sudah, saya duluan, ya.”

“Boleh saya antar kamu? Ah maaf ini lancang, tapi saya tidak ada maksud apa-apa.”

“Rumah saya tak jauh dari sini, jalan kaki pun sampai,” Jelas saya lagi, bukan saya menolak tumpangannya, tapi jarak rumah saya memang sedekat itu.

“Baiklah jika seperti itu tolong izinkan saya berjalan beriringan menuju rumahmu?” Apa maunya pria ini, mengapa dia keukeuh mengantarkan saya pulang.

“Ya sudah jika kamu tidak memiliki niat buruk kepada saya.” Final, saya izinkan dia mengantarkan saya dengan berjalan kaki menyusuri remangnya lampu jalan.

“Sebenarnya saya sudah jatuhkan atensi saya di kamu, tapi kamu acuh terhadap saya tadi pagi. Saya memang terlalu asing bagi kamu untuk bilang ini boleh saya mengenal kamu? Boleh saya menjadi temanmu?

Apa katanya? Mengapa pria ini terlihat blak-blakan. Saya menoleh melihat dia tengah tersenyum pada saya. Saya bingung, apa maksud terselubung pria ini.

Dia menghentikan langkahnya, saya pun reflek menghentikan langkah pula. Dia menatap saya dalam dengan bibirnya yang selalu tersenyum itu.

“Saya beneran mau mengenal kamu, kamu menarik perhatian saya sejak pagi tadi, jadi kamu izinin saya mengenal kamu? Kalau enggak pun gakpapa nanti saya cari tau sendiri tentang kamu.” Jelasnya masih memegang prinsip.

“Kenapa kamu mau kenal saya? Padahal sebelumnya kamu gak pernah ketemu saya?” Akhirnya saya menyuarakan isi kepala saya.

“Justru karena saya gak pernah ketemu kamu, jadi ketika saya bertemu kamu dan atensi kamu bikin saya penasaran itu yang bikin saya mau kenal kamu. Ah iya kata adik kamu, kamu itu agak tertutup kan orangnya? Maaf, ya, saya bikin kamu risih.” Ucapnya meletakan kedua telapak tangannya di depan dada meminta maaf.

Padahal saya tidak masalah jika memang dia mau berkenalan dengan saya, ya walaupun saya enggan membuka diri, setidaknya saya welcome saja pada sekitar saya, ya hanya saja kebanyakan dari mereka meninggal kan saya setelah tau sifat saya yang introvert tak mudah bergaul ini.

Saya terkekeh — Lucu rasanya ada seseorang yang blak-blakan pada saya ditambah lagi dia seorang pria, kan biasanya yang begini ke saya hanya Tia. Saya melihat raut bingung di wajah si pria.

“Do you need some a coffe?” Tawar saya, dia mengguk dan tersenyum. Pria ini hobi sekali tersenyum sih.

Saya ajak dia untuk meminum kopi di ruang tamu rumah saya, pun tak lupa saya basa-basi dengan mengajaknya makan nasi kucing yang saya beli tadi.

Namun ia menolak “Kamu aja yang makan, saya minum kopi aja, kayanya kamu yang butuh kalori malam ini.” Setelahnya dia tertawa renyah, dan saya? Jangan ditanya saya ikut tersenyum menanggapi si pria.

Benar saja saya makan dan dia menemani saya makan dengan kopinya. Setelahnya saya dan dia hanya berbincang-bincang seputaran tadi pagi yang mengapa dia sangat penasaran dengan saya, alasannya sangat klise, kalian tau karena apa dia ingin mengenal saya? “Saya penasaran aja seperti apa pribadi seseorang yang memiliki rambut panjang berwarna ungu ini.” Gitu katanya, klise sekali bukan?

Kami berbincang cukup lama, walau hanya seputar warna rambut saya yang ngejreng? Dia selalu tersenyum menanggapi alasan yang saya berikan untuk rambut saya ini.

Membahas bagaimana penasarannya dia kepada saya, katanya juga .“Saya ini cukup playboy, yang bisa merayu banyak gadis, tapi untuk kamu sepertinya rayuan saya tidak ada apa-apanya, ya? Jelas sih kamu kan hanya berpacaran dengan karakter fiksi buatan autormu.” Dia sedikit misuh sih menurut saya, lucu sekali, rasanya bertemu orang baru memang menyenangkan, tapi tidak tau nanti dia akan meninggalkan saya atau seperti apa? Saya tidak tau. Yang saya tau dia sangat sopan, ramah dan menyenangkan.

Saya bertanya-tanya dalam hati bagaimana orang tuanya merawatnya sehingga menjadi pria yang begitu hangat? Ah mungkin suatu saat akan saya tanyakan hal itu, tidak sekarang, rasanya masih terlalu asing ‘kan?

“Saya pulang, ya, maaf mengganggu waktu istirahat si nona pemalas ini” Dia terkekeh setelahnya.

Sebelum dia beranjak dari gerbang rumah saya, dia bertegur sapa dengan Tia yang baru saja keluar dari mobil pacarnya.

“Hay Tia! Lihat saya sudah bisa menemukan bagaimana rupa si gadis rambut ungu, bukan?” Tia meninju pundak si pria, sepertinya mereka sudah berbincang banyak hal.

“Baguslah, kau temanilah kakaku itu, suruh dia ganti warna rambut lah, capek mataku liat warna rambutnya yang ngejreng itu, ahhahhahaha” Si pria tertawa, pun si gadis kecil.

“Kamu jagain lah ya kakakku.” Lanjut si gadis. Si pria mengangguk dan tak lupa senyum manis yang selalu terbit dari bibirnya.

Saya harap semesta mempertemukan saya dan kamu bukan untuk sementara, saya ingin egois, saya ingin kamu tidak meninggalkan saya, semoga kamu bisa menyembuhkan luka yang saya miliki.

Malam itu saya panjatkan doa pada Tuhan, supaya Ia menakdirkan saya dan kamu untuk kembali berjumpa dan bercengkrama. Saya ingin sembuh dari ketidak tauan saya, saya ingin kamu menjadi alasan akan sembuh nya saya. Saya ingin kamu yang selalu memberikan senyum manis itu untuk saya.

Pria dengan papan skate berwarna biru.
Kamu baik, kamu hangat, kamu membuat saya sadar bahwa dunia ini tak melulu tentang saya dan pikiran saya.
Kamu beri duniamu pada saya, kamu kenalkan saya pada dunia.
Kamu berikan panggung untuk saya mengenal dunia tanpa ada takut dan ragu.

Terima kasih.

Ita

--

--